Cut Nyak Din: Kisah Ratu Perang Aceh

Cut Nyak Din: Kisah Ratu Perang Aceh

Sampul Cut Nyak Din: Kisah Ratu Perang Aceh terbitan Komunitas Bambu (2010), desain sampul oleh Hartanto ‘Kebo’ Utomo

Sebagai perempuan Aceh, kita tidak boleh menumpahkan air mata pada orang yang sudah syahid

Buku ini ditulis oleh seorang penulis wanita Belanda Madelon Hermine Szekely Lulofs dikenal dengan beberapa karya novelnya yang berlatar Hindia Belanda. Dua karyanya yang cukup terkenal Ruber (1931) dan Koeli (1932) berlatar perkebunan di Deli Sumatera Timur dimana ia pernah tinggal dan menyaksikan sendiri hubungan antara kuli kontrak dan tuan tanah.

Cut Nyak Din: Kisah Ratu Perang Aceh terbit dengan judul Tjoet Nja Dinh di Belanda pada tahun 1948, Azhari seorang penulis Aceh pada pengantar edisi Indonesia menyebutkan buku ini lebih layak disebut biografi ketimbang novel. Secara memikat cerita dimulai dari riwayat leluhur Cut Nyak Din yang bernama Machudun Sati yang ternyata seorang bangsawan dari Minangkabau, episode Perang Aceh yang menimbulkan trauma mendalam bagi pihak Belanda hingga pengasingan dan meninggalnya Cut Nyak Din di tanah Sunda.

Tak kurang Pramoedya Ananta Toer pada Tetralogi Pulau Buru menampilkan Perang Aceh yang termasyhur ini melalui tokoh Jean Marais seorang Prancis mantan serdadu sewaan pihak Belanda ketika melakukan penyerbuan ke Aceh. Perang Aceh dengan kegigihan perlawanan orang Aceh begitu menarik untuk diceritakan melalui berbagai aspek, Cut Nyak Din sebagai salahsatu tokoh utama dalam perang ini tentunya menyimpan banyak cerita menarik.

Lulofs mempunyai rasa simpati terhadap perjuangan orang Aceh dan ia sangat tertarik dengan perempuan Aceh, ia membaca mengenai Perang Aceh dari berbagai buku dan laporan pihak Belanda, tetapi karena ia anggap ini hanya keterangan satu sumber saja membuatnya tidak puas. Hal ini yang mendorongnya mencari keterangan mengenai Perang Aceh yang masuk akal dan didukung oleh kenyataan. Ia tak sengaja menerima sebuah naskah dari sahabatnya yang bernama H.F. Damste seorang mantan residen, Naskah tersebut sebelumnya terselip di dalam surat-surat peninggalan Snouck Hurgronye yang mendengarnya dari mulut juru syair Dokarim. Abdulkarim (Dokarim adalah seorang penyair dan pengarang riwayat Perang Aceh), riwayat dalam bentuk syair tersebut dinamakannya Hikayat Perang Kumpeni. Dari buku, naskah dan cerita orang yang mengalami perang Aceh inilah akhirnya Lulofs menyusun buku Tjoet Nja Dinh.

Lulofs menceritakan Aceh tak hanya menghadapi musuh dari luar tetapi juga musuh dari dalam yang tersirat dalam ucapan Cut Nyak Din ketika berdialog dengan suami pertamanya Teuku Ibrahim Lamgna, bahwa musuh dari dalam ini adalah binatang karena melakukan perbuatan yang begitu keji. Kemarahan Cut Nyak Din terhadap orang Belanda (yang ia sebut dengan istilah orang kaphe) begitu memuncak ketika terjadi kebakaran Masjid Baiturrahman saat penyerbuan pasukan Belanda, kemarahan ini baru mereda ketika suaminya mengabarkan Jenderal Kohler yang merupakan panglima tertinggi pada penyerbuan tersebut tewas tertembak.

Setelah Teuku Ibrahim Lamgna gugur, Cut Nyak Din menikah dengan Umar yang dianggapnya memiliki sifat-sifat satria dan dapat diharapkan menjadi kawan seperjuangan pada masa-masa mendatang. Cap pengkhianat tidak dapat dipercaya yang didaratkan Belanda kepada segenap orang Aceh yang berjuang melawan Belanda terutama Teuku Umar dipandang Lulofs bisa jadi ada benarnya tetapi ia menambahkan bahwa orang Belanda sendiri yang menggelar panggung sandiwara di depan orang Aceh. Sepak terjang Teuku Umar yang kontroversial bahkan di mata orang Aceh saat itu diceritakan pula di buku ini, yang saya baru sadar latar belakang dan sikap Teuku Umar sebelum bergabung dengan pihak Belanda dan tindakan-tindakannya ketika bergabung dengan Belanda hampir tak pernah diceritakan di buku-buku sejarah Indonesia di sekolah.

Pada situs goodreads buku dengan tebal 256 halaman ini mendapatkan rating 3,94 hampir 4 bintang penuh, angka ini berarti menurut para pengguna situs tersebut yang telah membacanya jelas buku ini tidak membosankan. Sesungguhnya menghormati pahlawan itu lebih tepat dengan membaca kisahnya dan meneladani perbuatannya tentunya media buku adalah yang paling baik untuk hal ini. Mengumbar nama pahlawan menjadi nama jalan, bangunan atau membuat patung, tak berguna banyak bila kita tidak tahu apa yang sudah dilakukan sang pahlawan tersebut.

Pralana luar:
id.wikipedia – Cut Nyak Dhien
goodreads – Cut Nyak Din: Kisah Ratu Perang Aceh

0 Respons

Beri Respons