Di Bawah Langit Tak Berbintang

di-bawah-langit-depan

Ilustrasi sampul oleh Alit Ambara, Dunia Pustaka Jaya 2001

 Memoar? Otobiografi? Novel? Yang penting mesti dilontarkan, biar gemerlapan di gelap malam!

Utuy Tatang Sontani salah seorang sastrawan Indonesia Angkatan 45 di samping beberapa nama besar lain seperti Idrus, Pramoedya Ananta Toer, Mochtar Lubis, Achdiat K. Mihardja dan lain-lain. Karyanya yang dipandang luar biasa adalah roman Tambera (1949) dan berbagai lakon drama  Awal dan Mira (1952), Sajang Ada Orang Lain (1954), Di Langit Ada Bintang (1955), Sang Kuriang (1955), Selamat Djalan Anak Kufur (1956), Si Kabajan (1959), dan Tak Pernah Mendjadi Tua (1963).

Di Bawah Langit Tak Berbintang sendiri mengisahkan perjalanan hidupnya dari masa kecil di Cianjur hingga ketika berada di pengasingan di RRC. Buku yang tipis hanya 150 halaman saja ini terdiri dari Pengantar Ajip Rosidi, Bagian Pertama (Mengapa Mengarang, Haru yang tak Kunjung Kering, What is in a name?) dan Bagian Kedua (Di Bawah Langit Tak Berbintang)

Di Bagian pertama Mengapa Mengarang mengisahkan masa kecilnya di Cianjur , diceritakan Utuy sempat tidak sudi bersekolah lagi karena di sekolah Schakel yang dimasukinya kepala sekolahnya menyetrap dan mengumumkan ia adalah contoh anak inlander. Utuy baru bersedia melanjutkan kembali pendidikannya ketika di Cianjur didirikan Taman Siswa, dengan alasan sederhana setiap seminggu sekali murid-murid Taman Siswa mengadakan tamasya ke gunung-gunung melihat pemandangan menurut Utuy inilah yang namanya belajar.

Sementara pada Haru Yang Tak Kunjung Kering dituliskan pada usia remaja Utuy menjalani kehidupan di Kota Bandung, ada satu bagian menarik yang ia tulis bahwa pada waktu itu Bandung mulai diberikan julukan “Paris Van Java”. Menurutnya ingatannya ada tiga penafsiran mengenai julukan tersebut yaitu kalangan atas mengatakan Bandung dianggap sebagai pusat kebudayaan dari Jawa seperti halnya Paris dianggap sebagai pusat kebudayaan Eropa. Adapula penafsiran kaum tengah bahwa Bandung adalah kota paling modern di Pulau Jawa sama halnya dengan Paris yang dianggap sebagai kota paling modern di Eropa saat itu. Sementara penafsiran satu lagi yang lebih populer di kalangan masyarakat luas tidak lain karena di Bandung seperti juga di Paris terdapat banyak pelacur.

Perkenalannya dengan seorang gadis indo bernama Onih yang menjalani profesi sebagai penjual kopi di bioskop Luxor Park sekaligus bekerja sebagai pelacur menjadi inspirasi terbesarnya menulis Tambera.  Tambera adalah sebuah roman sejarah dengan latar belakang Kepulauan Banda 1599 berkisah mengenai benturan antara orang Banda dengan orang Belanda dan VOC-nya ( Verenigde Oost-Indische Compagnie), Tambera terbit dalam bahasa Sunda pada tahun 1937 kemudian diterbitkan dalam bahasa Indonesia oleh Balai Pustaka pada tahun 1949.

Bagian kedua Di Bawah Langit Tak Berbintang menceritakan kehidupan Utuy ketika berada di pengasingan di RRC, ia tak bisa pulang ke Indonesia karena mendapat cap komunis dari rezim Orde Baru. Sebenarnya Utuy berada di RRC untuk berobat karena sakit yang dideritanya,  pada hari ketiga berada di Peking ia diberitahukan oleh tuan rumah bahwa di Indonesia terjadi peristiwa berdarah (yang kemudian kita kenal sebagai Gerakan 30 September).

Ajip Rosidi pada pengantar menulis bahwa Utuy adalah seorang individualis yang pernah terlibat dalam kegiatan Lekra hanya karena terjerat kepandaian orang-orang PKI menarik para pengarang dan seniman yang tidak tahu politik masuk ke dalam strateginya. Utuy meninggal di Moskow dengan meninggalkan pesan agar dikuburkan secara Islam seperti ucapannya sendiri:

Biar bagaimana, saya ini orang Islam dan kakek saya haji…,

Pranala Luar:
id-wikipedia.org – Utuy Tatang Sontani
trole.nla.gov.au – Tambera [Utuy Tatang Sontani]

1 Respons